Welcome To My Blog...

Sabtu, 26 Januari 2019

0 Participatory Culture, Digital Devide & Media Convergency


Participatory culture
https://socialmediatacticsellenkaldis.files.wordpress.com/2014/10/pc.jpg
budaya partisipatif merupakan kata baru dalam referensi, tetapi berlawanan dengan budaya Konsumen - dengan kata lain budaya di mana orang pribadi (masyarakat) tidak bertindak sebagai konsumen saja, tetapi juga sebagai kontributor atau produsen ( prosumers ) . Istilah ini paling sering diterapkan pada produksi atau penciptaan beberapa jenis media yang diterbitkan. kemajuan terbaru dalam teknologi (kebanyakan komputer pribadi dan internet ) telah memungkinkan orang pribadi untuk membuat dan mempublikasikan media tersebut, biasanya melalui internet. Ini budaya baru yang berkaitan dengan internet telah digambarkan sebagai Web 2.0 . [ 1 ] Dalam kebudayaan partisipatif "orang-orang muda kreatif menanggapi sejumlah besar sinyal elektronik dan komoditas budaya dengan cara yang mengejutkan pembuat mereka, menemukan arti dan identitas tidak pernah dimaksudkan untuk berada di sana dan menentang nostrums sederhana yang meratapi manipulasi atau kepasifan dari" konsumen "

Hubungan dengan Web 2.0 (Interactivity)

Tidak hanya memiliki perangkat keras meningkatkan kemampuan individu untuk mengirimkan konten ke internet sehingga dapat dihubungi oleh khalayak luas, tetapi di samping berbagai situs internet telah meningkat akses. Website seperti Flickr , Wikipedia , dan dapat mendorong pengajuan konten ke Internet. Mereka meningkatkan kemudahan dengan dimana pengguna dapat memposting konten dengan memungkinkan mereka untuk mengirimkan informasi bahkan jika mereka hanya memiliki browser internet. Kebutuhan software tambahan yang dihilangkan. Website ini juga berfungsi untuk membuat komunitas online untuk produksi konten. Masyarakat ini dan mereka layanan web telah diberi label sebagai bagian dari Web 2.0 . [3]
Hubungan antara Web 2.0 tools dan budaya partisipatif lebih dari sekedar materi, Karena pola pikir dan skillsets praktik partisipatif telah semakin diambil, orang semakin cenderung untuk mengeksploitasi alat-alat baru dan teknologi di 2.0 cara  penggunaan teknologi ponsel untuk melakukan " massa pintar "untuk perubahan politik di seluruh dunia. Di negara-negara di mana penggunaan ponsel melebihi penggunaan bentuk lain dari teknologi digital, menyampaikan informasi via ponsel telah membantu membawa perubahan politik dan sosial tentang signifikan. Contoh penting termasuk apa yang disebut " Revolusi Orange "di Ukraina [4] , penggulingan Presiden Filipina Joseph Estrada [5] , dan protes politik biasa di seluruh dunia [6]

Hubungan dengan Smart Phone (Mobility, Interactivity, Identity)

Telepon pintar adalah salah satu contoh yang menggabungkan unsur interaktivitas, identitas dan mobilitas. Mobilitas dari ponsel pintar menunjukkan bahwa media tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu dapat digunakan dalam konteks. [7] Teknologi terus kemajuan dalam arah ini karena menjadi lebih pengguna didorong dan kurang dibatasi jadwal dan lokasi, misalnya perkembangan film dari bioskop untuk melihat rumah pribadi, untuk sekarang ponsel cerdas yang dapat dipantau kapan saja dan dimana saja. Telepon pintar juga meningkatkan budaya partisipatif dengan peningkatan tingkat interaktivitas. Alih-alih hanya menonton, pengguna secara aktif terlibat dalam membuat keputusan, navigasi halaman, menyumbangkan konten mereka sendiri dan memilih apa link untuk diikuti. Ini melampaui tingkat "keyboard" interaktivitas, di mana seseorang menekan tombol dan huruf yang diharapkan muncul, dan menjadi agak kegiatan yang dinamis dengan pilihan pengaturan baru dan terus berubah, tanpa formula yang ditetapkan untuk mengikuti. Pergeseran peran konsumen dari seorang penerima yang pasif ke kontributor aktif
Telepon pintar melambangkan ini dengan pilihan terbatas dan cara untuk mendapatkan pribadi terlibat dengan beberapa media pada saat yang sama, dengan cara nonlinier. [8] Telepon pintar juga berkontribusi terhadap budaya partisipatif karena bagaimana mengubah persepsi identitas. Seorang pengguna dapat bersembunyi di balik sebuah avatar, profil palsu, atau hanya diri ideal saat berinteraksi dengan orang lain secara online. Tidak ada akuntabilitas untuk menjadi siapa yang Anda katakan. Kemampuan untuk slide dalam dan keluar dari perubahan peran pengaruh media pada budaya, dan juga pengguna sendiri. [9] Sekarang tidak hanya orang peserta aktif dalam media dan budaya, tetapi membayangkan diri mereka juga.

Media Convergency

https://www.efolio.soton.ac.uk/blog/yl3a15/files/2016/11/2.jpg
Kata “konvergensi” sering digunakan untuk merujuk ke berbagai proses yang berbeda, sehingga terkadang menimbulkan kebingungan. Konvergensi media adalah penggabungan atau menyatunya saluran-saluran keluar (outlet) komunikasi massa, seperti media cetak, radio, televisi, Internet, bersama dengan teknologi-teknologi portabel dan interaktifnya, melalui berbagai platform presentasi digital.
Dalam perumusan yang lebih sederhana, konvergensi media adalah bergabungnya atau terkombinasinya berbagai jenis media, yang sebelumnya dianggap terpisah dan berbeda (misalnya, komputer, televisi, radio, dan suratkabar), ke dalam sebuah media tunggal.
Gerakan konvergensi media tumbuh berkat adanya kemajuan teknologi akhir-akhir ini, khususnya dari munculnya Internet dan digitisasi informasi. Konvergensi media ini menyatukan ”tiga-C” (computing, communication, dan content). Jika dijabarkan di level perusahaan, maka konvergensi ini menyatukan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang informasi (komputer), jejaring telekomunikasi, dan penyedia konten (penerbit buku, suratkabar, majalah, stasiun TV, radio, musik, film, dan hiburan).

Dampak Positif dan Negatif

Keuntungan dari konvergensi jenis ini cukup jelas. Ia menghemat uang karena –ketimbang mempekerjakan staf pemberitaan yang terpisah untuk setiap media—pengoperasian bisa lebih murah ketika mempekerjakan reporter yang sama untuk tiga media sekaligus: suratkabar, situs Web, dan stasiun TV. Sebagai tambahan, setiap media itu bisa mempromosikan mitra-mitra medianya. TV berita dapat mendorong pembaca untuk mengunjungi situs web atau membeli suratkabarnya (versi cetak).
Tentu saja, ada sisi yang memberatkan juga. Reporter yang dipekerjakan memerlukan tambahan pelatihan untuk bisa menguasai berbagai media. Hal ini menimbulkan beberapa kontroversi di kalangan reporter media cetak, yang enggan disuruh membawa-bawa kamera video dan perekam suara, sebagai bagian dari peralatan liputan.
Lebih lanjut, banyak juga pengeritik yang khawatir bahwa pengoperasian yang terkonvergensi ini berarti berkurangnya independensi dan keragaman bentuk jurnalisme. Beberapa di antara mereka menyimpulkan, walaupun konvergensi operasional mungkin bagus untuk perusahaan-perusahaan media, itu mungkin tidak bagus buat konsumen media. ***

Digital Devide

https://cdn-images-1.medium.com/max/1600/1*dqO3EVpsyQErCRlyaRkNNA.png
Digital divide mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and communication technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Jadi, digital divide atau “kesenjangan digital” sebenarnya mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam suatu negara dan/atau antar Negara.

Peneyebab Terjadinya Kesenjangan Digital

·         Infrastruktur
Masalah kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia sebenarnya banyak dipengaruhi oleh tidak meratanya pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi dan regulasi di berbagai daerah. Adanya perbedaan pola hidup antara masyarakat perkotaan dan pedesaan di daerah-daerah yang sudah maju. Masyarakat perkotaan di daerah yang sudah maju mempunyai kemampuan dan wawasan yang lebih tinggi akan teknologi informasi dibandingkan masyarakat perkotaan yang hidup di daerah kurang maju. Demikian pula, masyarakat pedesaan di daerah yang sudah maju, mereka akan mempunyai pengetahuan yang sedikit lebih tinggi untuk mengenal teknologi informasi dibanding masyarakat pedesaan di daerah yang kurang maju (bahkan tidak terjangkau jaringan komunikasi sama sekali).
Contoh mudah mengenai kesenjangan infrastruktur ini yaitu orang yang memiliki akses ke komputer bisa bekerja dengan cepat. Ia bisa menulis lebih cepat dibandingkan mereka yang masih menggunakan mesin ketik manual. Contoh yang lain, orang yang mempunyai akses ke komputer internet, otomatis mempunyai wawasan yang lebih luas di bandingkan mereka yang sama sekali tidak punya akses ke informasi di Internet yang serba luas. Contoh-contoh berikut menunjukkan beberapa perbedaan yang memperburuk kesenjangan global, yang disebabkan oleh masalah infrastruktur :
    • Lebih dari 80 % orang di dunia belum pernah mendengar nada panggil , biarkan sendiri ' berselancar ' web atau menggunakan ponsel (UNDP 1999 : 78 ) . 
    • Afrika , yang memiliki sekitar 739.000.000 orang , hanya memiliki 14 juta telepon baris, yang jauh lebih kecil dari baris di Manhattan atau Tokyo ( Panos 2004 : 4 ) . 
    • Sub - Sahara Afrika memiliki sekitar 10 persen dari populasi dunia ( 626 juta ) , tetapi hanya 0,2 persen dari satu miliar sambungan telepon dunia ( ibid. : 4 ) . 
    • Biaya menyewa koneksi rata-rata hampir 20 persen per kapita PDB di Afrika dibandingkan dengan sembilan persen untuk dunia , dan hanya satu persen untuk negara-negara berpenghasilan tinggi ( ibid. : 4 ).

  • Kekurangan Skill (SDM)
Kekurangan skill SDM disini bisa dikatakan sebagai minat dan kemampuan dari seseorang untuk menggunakan sarana digital. Masih banyak masyarakat yang merasa gugup, takut sehingga enggan menggunakan sarana digital seperti komputer atau laptop.
-         Kekurangan isi / materi (content)
Konten berbahasa Indonesia menentukan bisa tidaknya seorang dapat mengerti mengakses internet, di Indonesia terutama kota-kota tingkat pendidikan sudah lebih tinggi. Jadi, sedikit banyak sudah mengerti bahasa Inggris. Sedangkan yang di desa, seperti petani-petani, mereka masih sangat kurang dalam menggunakan bahasa asing (Inggris).
-         Kurangnya pemanfaatan akan internet itu sendiri
Berbicara mengenai kesenjangan digital, bukanlah semata-mata persoalan infrastuktur. Banyak orang memiliki komputer, bahkan setiap hari, setiap jam- bisa mengakses Internet tetapi "tidak menghasilkan apapun". Misal, ada seorang remaja punya akses ke komputer dan Internet. Tapi yang dia lakukan hanya Chatting yang biasa-biasa saja. Tentu saja, ia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh teknologi digital. Itu artinya, kesenjangan digital tidak hanya bisa dijawab dengan penyediaan infrastruktur saja. Infrastruktur tentu dibutuhkan tetapi persoalannya adalah ketika orang punya komputer dan bisa mengakses Internet, pertanyaan berikutnya adalah, "apa yang mau diakses? Apa yang mau dia kerjakan dengan peralatan itu, dengan keunggulan-keunggulan teknologi itu.



  • Pendidikan
Sebagian besar digital orang dikecualikan lebih cenderung kurang berpendidikan dan akan kurang baik dibayar dalam pekerjaan mereka , meskipun hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak menggunakan Internet . untuk Misalnya , PBB Program Pangan Dunia ( UNWFP ) memiliki inovatif secara online kampanye penggalangan dana musiman di Afrika yang menghubungkan masyarakat miskin , kurang berpendidikan petani skala kecil di daerah pedesaan untuk menjual sebagian dari tanaman mereka secara online ( UNWFP 2007) . Demikian pula , orang juga dapat menemukan bahwa orang-orang tua berpendidikan mungkin sering menggunakan Internet lebih dari pemuda berpendidikan dan menganggur muda di daerah perkotaan maju dan berkembang . Namun, seperti Suzanne Damarin berpendapat , jenderal Kecenderungan adalah bahwa pendidikan atau kurangnya lebih lanjut memperkuat kesenjangan antara mereka yang bisa menggunakan internet dan mereka yang tidak bisa karena kemungkinan menggunakan Internet selalu meningkat dengan tingkat seseorang pendidikan karena pengarusutamaan TIK baru dalam pendidikan (lDamarin 2000 : 17 ) .

Dampak Positif Kesenjangan Digital

Bagi sebagian orang yang belum mengenal atau menerapkan teknologi adalah masyarakat dapat termotifasi untuk ambil bagian dalam peningkatan teknologi informasi.

Teknologi informasi merupakan teknologi masa kini yang dapat menyatukan atau menggabungkan berbagai informasi, data dan sumber untuk dimanfaatkan sebagai ilmu bagi kegunaan seluruh umat manusia melalui penggunaan berbagai media dan peralatan telekomunikasi modern.

Dampat Negatif Kesenjangan Digital

Bagi mereka yang mampu menghasilkan teknologi dan sekaligus memanfaatkan teknologi memiliki peluang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi, sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton saja. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin.

Kemajuan Teknologi Informasi itu terlahir dari sebuah kemajuan zaman, bahkan mungkin ada yang menolak anggapan, semakin tinggi tingkat kemajuan yang ada, semakin tinggi pula tingkat kriminalitas yang terjadi.

Solusi Mengurangan Kesenjagan Digital

Langkah yang terbaik untuk mengurangi kesejangan digital adalah menyiapkan masyarakat untuk bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi yang tersedia. Penyiapan kondisi psikologis bagi masyarakat untuk menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan lebih efektif dan mendewasakan masyarakat untuk bisa mengelola informasi dengan baik. Dengan kemajuan teknologi informasi seseorang atau masyarakat akan mendapat kemudahan akses untuk menggunakan dan memperoleh informasi. Misalnya dengan mengadakan penyuluhan kesekolah-sekolah tentang penggunaan Internet.
Pembangunan fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa, sehingga setiap masyarakat yang ingin mengakses informasi dapat tercapai dengan tersedianya fasilitas telekomunikasi yang memadai. Wartel dan Warnet memainkan peranan penting dalam mengurangi digital divide. Warung Telekomunikasi dan Warung Internet ini secara berkelanjutan memperluas jangkauan pelayanan telepon dan internet, baik di daerah kota maupun desa.
Peran mahasiswa teknologi informasi untuk mendukung pemerintah dalam mewujudkan masyarakat informasi di tahun 2025 tidaklah mustahil jika dicanangkan sejak sekarang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dan dapat direalisasikan secara berkelanjutan yaitu melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mengangkat jargon Pemberdayaan Pembelajaran Masyarakat, yang diadakan setiap semester di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tidak ada salahnya apabila pihak universitas dan pemerintah bekerja sama untuk membentuk tema khusus yang berkaitan dengan pengenalan teknologi informasi di masyarakat, sedangkan mahasiswa bertindak sebagai pelakunya.
Sejumlah keterbatasan yang menjadi faktor pendukung di lapangan juga harus dipersiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan survey daerah pelosok yang sudah terjangkau listrik, jaringan telepon, dan internet. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat setempat untuk mengetahui tingkat antusiasme dan kesadaran masyarakat untuk menyongsong masyarakat informasi di masa depan. Hal ini bukanlah menjadi hal yang sulit apabila sudah benar-benar direncanakan dan ditanggapi menjadi masalah yang fundamental oleh pemerintah.
Langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh seorang mahasiswa untuk mengatasi kesenjangan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai tahap dan metode pembelajaran. Pertama, diawali dengan sosialisasi dan pengenalan yang mendasar tentang pentingnya masyarakat informasi agar dapat bersaing dengan dunia global. Kedua, perlunya pelatihan dan pembelajaran secara bertahap sesuai dengan kemampuan sumber daya dan prasarana yang dimiliki setiap individu masyarakat. Ketiga, menanamkan pola pikir masyarakat akan pentingnya media informasi untuk meningkatkan produktivitas kerja di berbagai aspek kehidupan.
Untuk itu, sudah saatnya peran mahasiswa teknologi informasi dibantu oleh pemerintah dan masyarakat digalakkan di berbagai pendidikan tinggi Indonesia untuk menghadapi masalah kesenjangan digital yang terlalu renggang, sehingga kelak mimpi Indonesia mewujudkan masyarakat informasi benar-benar bisa dirasakan setiap lapisan masyarakat di mana pun mereka tinggal.

 









Sumber :

0 Comments

Bagaimana Pendapat Anda ?

 
Hell Yeah Pointer 2