Participatory culture
budaya partisipatif
merupakan kata baru dalam referensi, tetapi berlawanan dengan budaya Konsumen - dengan kata lain budaya di mana
orang pribadi (masyarakat) tidak bertindak sebagai konsumen saja, tetapi juga
sebagai kontributor atau produsen ( prosumers ) . Istilah
ini paling sering diterapkan pada produksi atau penciptaan beberapa jenis media yang diterbitkan. kemajuan terbaru dalam teknologi (kebanyakan komputer pribadi dan internet ) telah memungkinkan orang pribadi untuk membuat
dan mempublikasikan media tersebut, biasanya melalui internet. Ini budaya baru yang berkaitan dengan internet
telah digambarkan sebagai Web 2.0 . [ 1 ] Dalam kebudayaan partisipatif
"orang-orang muda kreatif menanggapi sejumlah besar sinyal elektronik dan
komoditas budaya dengan cara yang mengejutkan pembuat mereka, menemukan arti
dan identitas tidak pernah dimaksudkan untuk berada di sana dan menentang
nostrums sederhana yang meratapi manipulasi atau kepasifan dari" konsumen
"
Hubungan dengan Web 2.0 (Interactivity)
Tidak hanya memiliki perangkat keras meningkatkan
kemampuan individu untuk mengirimkan konten ke internet sehingga dapat
dihubungi oleh khalayak luas, tetapi di samping berbagai situs internet telah
meningkat akses. Website seperti Flickr , Wikipedia , dan dapat mendorong pengajuan konten ke Internet. Mereka
meningkatkan kemudahan dengan dimana pengguna dapat memposting konten dengan
memungkinkan mereka untuk mengirimkan informasi bahkan jika mereka hanya
memiliki browser internet. Kebutuhan
software tambahan yang dihilangkan. Website ini juga berfungsi untuk membuat
komunitas online untuk produksi konten. Masyarakat ini dan mereka layanan web telah diberi label sebagai bagian dari Web 2.0 . [3]
Hubungan antara Web 2.0 tools dan budaya
partisipatif lebih dari sekedar materi, Karena pola pikir dan skillsets praktik
partisipatif telah semakin diambil, orang semakin cenderung untuk
mengeksploitasi alat-alat baru dan teknologi di 2.0 cara penggunaan
teknologi ponsel untuk melakukan " massa pintar "untuk perubahan politik di seluruh
dunia. Di negara-negara di mana penggunaan
ponsel melebihi penggunaan bentuk lain dari teknologi digital, menyampaikan
informasi via ponsel telah membantu membawa perubahan politik dan sosial
tentang signifikan. Contoh penting termasuk apa yang disebut " Revolusi Orange "di Ukraina [4] , penggulingan Presiden
Filipina Joseph Estrada [5] , dan protes politik biasa di
seluruh dunia [6]
Hubungan dengan Smart Phone (Mobility, Interactivity, Identity)
Telepon pintar adalah salah satu contoh yang
menggabungkan unsur interaktivitas, identitas dan mobilitas. Mobilitas dari ponsel pintar menunjukkan bahwa
media tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu dapat digunakan dalam konteks. [7] Teknologi terus kemajuan dalam arah ini
karena menjadi lebih pengguna didorong dan kurang dibatasi jadwal dan lokasi,
misalnya perkembangan film dari bioskop untuk melihat rumah pribadi, untuk
sekarang ponsel cerdas yang dapat dipantau kapan saja dan dimana saja. Telepon
pintar juga meningkatkan budaya partisipatif dengan peningkatan tingkat interaktivitas. Alih-alih hanya menonton, pengguna secara aktif
terlibat dalam membuat keputusan, navigasi halaman, menyumbangkan konten mereka
sendiri dan memilih apa link untuk diikuti.
Ini melampaui tingkat "keyboard" interaktivitas, di mana seseorang
menekan tombol dan huruf yang diharapkan muncul, dan menjadi agak kegiatan yang
dinamis dengan pilihan pengaturan baru dan terus berubah, tanpa formula yang
ditetapkan untuk mengikuti. Pergeseran peran
konsumen dari seorang penerima yang pasif ke kontributor aktif
Telepon pintar melambangkan ini dengan pilihan
terbatas dan cara untuk mendapatkan pribadi terlibat dengan beberapa media pada
saat yang sama, dengan cara nonlinier. [8] Telepon pintar juga
berkontribusi terhadap budaya partisipatif karena bagaimana mengubah persepsi
identitas. Seorang pengguna dapat
bersembunyi di balik sebuah avatar, profil palsu, atau hanya diri ideal saat
berinteraksi dengan orang lain secara online.
Tidak ada akuntabilitas untuk menjadi siapa yang Anda katakan. Kemampuan untuk
slide dalam dan keluar dari perubahan peran pengaruh media pada budaya, dan
juga pengguna sendiri. [9] Sekarang
tidak hanya orang peserta aktif dalam media dan budaya, tetapi membayangkan
diri mereka juga.
Media Convergency
Kata
“konvergensi” sering digunakan untuk merujuk ke berbagai proses yang berbeda,
sehingga terkadang menimbulkan kebingungan. Konvergensi media adalah
penggabungan atau menyatunya saluran-saluran keluar (outlet) komunikasi massa,
seperti media cetak, radio, televisi, Internet, bersama dengan
teknologi-teknologi portabel dan interaktifnya, melalui berbagai platform
presentasi digital.
Dalam perumusan yang lebih sederhana, konvergensi media adalah bergabungnya atau terkombinasinya berbagai jenis media, yang sebelumnya dianggap terpisah dan berbeda (misalnya, komputer, televisi, radio, dan suratkabar), ke dalam sebuah media tunggal.
Dalam perumusan yang lebih sederhana, konvergensi media adalah bergabungnya atau terkombinasinya berbagai jenis media, yang sebelumnya dianggap terpisah dan berbeda (misalnya, komputer, televisi, radio, dan suratkabar), ke dalam sebuah media tunggal.
Gerakan
konvergensi media tumbuh berkat adanya kemajuan teknologi akhir-akhir ini,
khususnya dari munculnya Internet dan digitisasi informasi. Konvergensi media
ini menyatukan ”tiga-C” (computing, communication, dan content). Jika
dijabarkan di level perusahaan, maka konvergensi ini menyatukan
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang informasi (komputer), jejaring
telekomunikasi, dan penyedia konten (penerbit buku, suratkabar, majalah,
stasiun TV, radio, musik, film, dan hiburan).
Dampak Positif dan Negatif
Keuntungan
dari konvergensi jenis ini cukup jelas. Ia menghemat uang karena –ketimbang
mempekerjakan staf pemberitaan yang terpisah untuk setiap media—pengoperasian
bisa lebih murah ketika mempekerjakan reporter yang sama untuk tiga media
sekaligus: suratkabar, situs Web, dan stasiun TV. Sebagai tambahan, setiap
media itu bisa mempromosikan mitra-mitra medianya. TV berita dapat mendorong
pembaca untuk mengunjungi situs web atau membeli suratkabarnya (versi cetak).
Tentu
saja, ada sisi yang memberatkan juga. Reporter yang dipekerjakan memerlukan
tambahan pelatihan untuk bisa menguasai berbagai media. Hal ini menimbulkan
beberapa kontroversi di kalangan reporter media cetak, yang enggan disuruh
membawa-bawa kamera video dan perekam suara, sebagai bagian dari peralatan
liputan.
Lebih
lanjut, banyak juga pengeritik yang khawatir bahwa pengoperasian yang
terkonvergensi ini berarti berkurangnya independensi dan keragaman bentuk
jurnalisme. Beberapa di antara mereka menyimpulkan, walaupun konvergensi
operasional mungkin bagus untuk perusahaan-perusahaan media, itu mungkin tidak
bagus buat konsumen media. ***
Digital Devide
Digital divide mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap)
antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area
geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas
akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and communication
technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam
aktivitas. Jadi, digital divide atau “kesenjangan digital” sebenarnya
mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat
perbedaan pemanfaatannya dalam suatu negara dan/atau antar Negara.
Peneyebab Terjadinya Kesenjangan Digital
·
Infrastruktur
Masalah
kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia sebenarnya banyak dipengaruhi
oleh tidak meratanya pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi dan regulasi
di berbagai daerah. Adanya perbedaan pola hidup antara masyarakat perkotaan dan
pedesaan di daerah-daerah yang sudah maju. Masyarakat perkotaan di daerah yang
sudah maju mempunyai kemampuan dan wawasan yang lebih tinggi akan teknologi
informasi dibandingkan masyarakat perkotaan yang hidup di daerah kurang maju.
Demikian pula, masyarakat pedesaan di daerah yang sudah maju, mereka akan
mempunyai pengetahuan yang sedikit lebih tinggi untuk mengenal teknologi
informasi dibanding masyarakat pedesaan di daerah yang kurang maju (bahkan
tidak terjangkau jaringan komunikasi sama sekali).
Contoh mudah mengenai kesenjangan infrastruktur ini yaitu orang yang memiliki akses ke komputer bisa bekerja dengan cepat. Ia bisa menulis lebih cepat dibandingkan mereka yang masih menggunakan mesin ketik manual. Contoh yang lain, orang yang mempunyai akses ke komputer internet, otomatis mempunyai wawasan yang lebih luas di bandingkan mereka yang sama sekali tidak punya akses ke informasi di Internet yang serba luas. Contoh-contoh berikut menunjukkan beberapa perbedaan yang memperburuk kesenjangan global, yang disebabkan oleh masalah infrastruktur :
Contoh mudah mengenai kesenjangan infrastruktur ini yaitu orang yang memiliki akses ke komputer bisa bekerja dengan cepat. Ia bisa menulis lebih cepat dibandingkan mereka yang masih menggunakan mesin ketik manual. Contoh yang lain, orang yang mempunyai akses ke komputer internet, otomatis mempunyai wawasan yang lebih luas di bandingkan mereka yang sama sekali tidak punya akses ke informasi di Internet yang serba luas. Contoh-contoh berikut menunjukkan beberapa perbedaan yang memperburuk kesenjangan global, yang disebabkan oleh masalah infrastruktur :
- Lebih dari 80 % orang di dunia belum pernah mendengar nada panggil , biarkan sendiri ' berselancar ' web atau menggunakan ponsel (UNDP 1999 : 78 ) .
- Afrika , yang memiliki sekitar 739.000.000 orang , hanya memiliki 14 juta telepon baris, yang jauh lebih kecil dari baris di Manhattan atau Tokyo ( Panos 2004 : 4 ) .
- Sub - Sahara Afrika memiliki sekitar 10 persen dari populasi dunia ( 626 juta ) , tetapi hanya 0,2 persen dari satu miliar sambungan telepon dunia ( ibid. : 4 ) .
- Biaya menyewa koneksi rata-rata hampir 20 persen per
kapita PDB di Afrika dibandingkan dengan sembilan persen untuk dunia ,
dan hanya satu persen untuk negara-negara berpenghasilan tinggi ( ibid. :
4 ).
- Kekurangan Skill (SDM)
Kekurangan skill SDM disini bisa dikatakan sebagai minat dan
kemampuan dari seseorang untuk menggunakan sarana digital. Masih banyak
masyarakat yang merasa gugup, takut sehingga enggan menggunakan sarana digital
seperti komputer atau laptop.
-
Kekurangan isi / materi (content)
Konten
berbahasa Indonesia menentukan bisa tidaknya seorang dapat mengerti mengakses
internet, di Indonesia terutama kota-kota tingkat pendidikan sudah lebih
tinggi. Jadi, sedikit banyak sudah mengerti bahasa Inggris. Sedangkan yang di
desa, seperti petani-petani, mereka masih sangat kurang dalam menggunakan
bahasa asing (Inggris).
-
Kurangnya pemanfaatan akan internet
itu sendiri
Berbicara mengenai kesenjangan digital, bukanlah semata-mata
persoalan infrastuktur. Banyak orang memiliki komputer, bahkan setiap hari,
setiap jam- bisa mengakses Internet tetapi "tidak menghasilkan
apapun". Misal, ada seorang remaja punya akses ke komputer dan Internet.
Tapi yang dia lakukan hanya Chatting yang biasa-biasa saja. Tentu saja, ia
tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh teknologi
digital. Itu artinya, kesenjangan digital tidak hanya bisa dijawab dengan
penyediaan infrastruktur saja. Infrastruktur tentu dibutuhkan tetapi
persoalannya adalah ketika orang punya komputer dan bisa mengakses Internet,
pertanyaan berikutnya adalah, "apa yang mau diakses? Apa yang mau dia
kerjakan dengan peralatan itu, dengan keunggulan-keunggulan teknologi itu.
- Pendidikan
Sebagian besar
digital orang dikecualikan lebih cenderung kurang berpendidikan dan akan kurang
baik dibayar dalam pekerjaan mereka , meskipun hal ini tidak berarti bahwa
mereka tidak menggunakan Internet . untuk Misalnya , PBB Program Pangan Dunia (
UNWFP ) memiliki inovatif secara online kampanye penggalangan dana musiman di
Afrika yang menghubungkan masyarakat miskin , kurang berpendidikan petani skala
kecil di daerah pedesaan untuk menjual sebagian dari tanaman mereka secara
online ( UNWFP 2007) . Demikian pula , orang juga dapat menemukan bahwa
orang-orang tua berpendidikan mungkin sering menggunakan Internet lebih dari pemuda
berpendidikan dan menganggur muda di daerah perkotaan maju dan berkembang .
Namun, seperti Suzanne Damarin berpendapat , jenderal Kecenderungan adalah
bahwa pendidikan atau kurangnya lebih lanjut memperkuat kesenjangan antara
mereka yang bisa menggunakan internet dan mereka yang tidak bisa karena
kemungkinan menggunakan Internet selalu meningkat dengan tingkat seseorang
pendidikan karena pengarusutamaan TIK baru dalam pendidikan (lDamarin 2000 : 17
) .
Dampak Positif Kesenjangan Digital
Bagi
sebagian orang yang belum mengenal atau menerapkan teknologi adalah masyarakat
dapat termotifasi untuk ambil bagian dalam peningkatan teknologi informasi.
Teknologi
informasi merupakan teknologi masa kini yang dapat menyatukan atau
menggabungkan berbagai informasi, data dan sumber untuk dimanfaatkan sebagai
ilmu bagi kegunaan seluruh umat manusia melalui penggunaan berbagai media dan
peralatan telekomunikasi modern.
Dampat Negatif Kesenjangan Digital
Bagi
mereka yang mampu menghasilkan teknologi dan sekaligus memanfaatkan teknologi
memiliki peluang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi, sementara
yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton saja. Akibatnya yang
kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin.
Kemajuan
Teknologi Informasi itu terlahir dari sebuah kemajuan zaman, bahkan mungkin ada
yang menolak anggapan, semakin tinggi tingkat kemajuan yang ada, semakin tinggi
pula tingkat kriminalitas yang terjadi.
Solusi Mengurangan Kesenjagan Digital
Langkah
yang terbaik untuk mengurangi kesejangan digital adalah menyiapkan masyarakat
untuk bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi yang
tersedia. Penyiapan kondisi psikologis bagi masyarakat untuk menerima, menilai,
memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan lebih efektif
dan mendewasakan masyarakat untuk bisa mengelola informasi dengan baik. Dengan
kemajuan teknologi informasi seseorang atau masyarakat akan mendapat kemudahan
akses untuk menggunakan dan memperoleh informasi. Misalnya dengan mengadakan
penyuluhan kesekolah-sekolah tentang penggunaan Internet.
Pembangunan
fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa, sehingga setiap masyarakat yang
ingin mengakses informasi dapat tercapai dengan tersedianya fasilitas
telekomunikasi yang memadai. Wartel dan Warnet memainkan peranan penting dalam
mengurangi digital divide. Warung Telekomunikasi dan Warung Internet ini secara
berkelanjutan memperluas jangkauan pelayanan telepon dan internet, baik di
daerah kota maupun desa.
Peran
mahasiswa teknologi informasi untuk mendukung pemerintah dalam mewujudkan
masyarakat informasi di tahun 2025 tidaklah mustahil jika dicanangkan sejak
sekarang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dan dapat direalisasikan secara
berkelanjutan yaitu melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mengangkat
jargon Pemberdayaan Pembelajaran Masyarakat, yang diadakan setiap semester di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tidak ada salahnya apabila pihak
universitas dan pemerintah bekerja sama untuk membentuk tema khusus yang
berkaitan dengan pengenalan teknologi informasi di masyarakat, sedangkan
mahasiswa bertindak sebagai pelakunya.
Sejumlah
keterbatasan yang menjadi faktor pendukung di lapangan juga harus dipersiapkan
terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan survey daerah pelosok yang sudah
terjangkau listrik, jaringan telepon, dan internet. Selain itu, juga perlu
dilakukan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat
setempat untuk mengetahui tingkat antusiasme dan kesadaran masyarakat untuk
menyongsong masyarakat informasi di masa depan. Hal ini bukanlah menjadi hal
yang sulit apabila sudah benar-benar direncanakan dan ditanggapi menjadi
masalah yang fundamental oleh pemerintah.
Langkah
konkrit yang dapat dilakukan oleh seorang mahasiswa untuk mengatasi kesenjangan
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai tahap dan metode pembelajaran.
Pertama, diawali dengan sosialisasi dan pengenalan yang mendasar tentang
pentingnya masyarakat informasi agar dapat bersaing dengan dunia global. Kedua,
perlunya pelatihan dan pembelajaran secara bertahap sesuai dengan kemampuan
sumber daya dan prasarana yang dimiliki setiap individu masyarakat. Ketiga,
menanamkan pola pikir masyarakat akan pentingnya media informasi untuk
meningkatkan produktivitas kerja di berbagai aspek kehidupan.
Untuk
itu, sudah saatnya peran mahasiswa teknologi informasi dibantu oleh pemerintah
dan masyarakat digalakkan di berbagai pendidikan tinggi Indonesia untuk
menghadapi masalah kesenjangan digital yang terlalu renggang, sehingga kelak
mimpi Indonesia mewujudkan masyarakat informasi benar-benar bisa dirasakan
setiap lapisan masyarakat di mana pun mereka tinggal.
Sumber :